Selasa, 22 Februari 2011

Maafkan Aku Bila Aku Mengeluh...

Hari ini, di sebuah bus, aku melihat seorang gadis cantik berrambut hitam kemilau. Aku iri melihatnya. Dia tampak begitu ceria, dan kuharap aku bisa merasakan keceriaan itu. Tiba-tiba dia terhuyung-huyung berjalan. Ternyata, dia mempunyai satu kaki saja, dan memakai tongkat kayu. Namun ketika lewat dia tersenyum.

Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua kaki. Dunia ini milikku.

Aku berhenti untuk membeli bunga lili. Anak laki-laki penjualnya begitu mempesona. Aku berbicara padanya. Dia tampak begitu gembira. Seandainya aku terlambat, tidaklah apa-apa. Ketika aku pergi, dia berkata, "Terima kasih. Menyenangkan berbicara dengan orang sepertimu. Engkau sudah begitu baik mau berbicara pada saya yang buta ini."

Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua mata. Dunia ini milikku.

Lalu, sementara berjalan. Aku melihat seorang anak dengan bola mata biru. Dia berdiri dan melihat teman-temannya bermain. Dia tidak tahu apa yang bisa dilakukannya. Aku berhenti sejenak, tanyaku, "Mengapa engkau tidak bermain dengan yang lain, nak?" Dia memandang ke depan tanpa bersuara, lalu aku tahu dia tidak bisa mendengar.

Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua telinga. Dunia ini milikku.

Dengan dua kaki untuk membawa aku ke mana aku mau. Dengan dua mata untuk memandang mentari terbenam. Dengan dua telinga untuk mendengar apa yang ingin kudengar.

Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh...

Jumat, 18 Februari 2011

Lagi Dan Lagi...

Sungguh senangnya hati ketika kendaraan yang kita pakai sehari-hari dicuci bersih. Sayangnya, secemerlang apa pun kendaraan kita setelah dicuci, kita tak dapat mempertahankannya terus begitu. Jika kita memakainya lagi untuk beraktivitas, maka dalam sekejap ia bisa kembali menjadi begitu kotor. Hingga pekerjaan mencuci ini harus diulang. Lalu, kotor lagi. Harus dicuci lagi. Begitu seterusnya...

Ada satu kemiripan antara mencuci kendaraan dengan mengampuni kesalahan sesama - yakni harus dilakukan lagi dan lagi. Perselisihan, kerap kali justru terjadi di antara orang-orang yang terdekat - keluarga, sahabat, rekan sekerja. Itu sebabnya budaya meminta ampun dan mengampuni harus menjadi gaya hidup kita. Sungguh egois apabila kita yang telah diampuni oleh Yang Kuasa tidak mau melakukan hal yang sama terhadap sesama kita. Sudah sewajarnya kita dapat mengampuni lagi dan lagi - setiap kesalahan yang tertimpa kepada kita dari sesama saudara.

Kita membutuhkan pengampunan Tuhan lagi dan lagi, mengapa kita tak mengampuni sesama lagi dan lagi juga?

Kamis, 17 Februari 2011

Pengkritik...

Walt Disney adalah salah satu raksasa entertainment terbesar di dunia ini. Apakah perjalanannya menuju sukses berlangsung mulus? Tidak selalu. Disney harus bertemu banyak pengkritik yang berusaha membunuh impiannya. Gagasan tentang tikus kartun pada zaman itu sangat konyol. Tak heran Disney harus menelan banyak kritik, sindiran, hinaan. Namun kini, anak-anak di seluruh dunia harus berterima kasih kepadanya karena berhasil mempertahankan impian dan tetap berusaha mewujudkannya.

Pengkritik tak memandang orang. Tak peduli betapa kerasnya Anda bekerja. Tak peduli betapa hebatnya gagasan Anda. Tak peduli betapa luar biasanya bakat dan kemampuan Anda. Tak peduli Anda sosok yang sempurna. Anda tetap menjadi sasaran kritik. Tak seorang pun bebas dari kritik. Semua dihadapkan pada pilihan: membiarkan kritik membunuh impiannya atau memilih mempertahankan impian itu!

Jika Walt Disney yang kreatif itu pun menuai kritikan hebat, apalagi kita. Ya, para pengkritik ada di mana-mana. Kita tak dapat lepas dari pengkritik. Solusi terbaik adalah menghadapi semua kritikan itu dengan jiwa besar dan tidak membiarkan kritikan itu membunuh semua impian kita.

Apakah Anda sedang menuai sorotan serta kritikan tajam? Mungkinkah semangat Anda meredup atau bahkan hampir mati karenanya? Lihatlah bagaimana orang-orang sukses menghadapi kritik. Bersemangatlah kembali dan raih lagi impian Anda...

“Criticism, like rain, should be gentle enough to nourish a man's growth without destroying his roots.”

Minggu, 13 Februari 2011

Sebuah Kisah Cinta Nyata di Hari Kasih Sayang

Di pihak manapun Anda berada (seorang aktivis anti-hari-valentine, atau seorang yang mempersiapkan coklat untuk kekasih spesialnya), topik tentang cinta selalu populer...

Jika Anda salah seorang yang takut berurusan dengan cinta, kisah nyata yang diceritakan seorang suster sebuah rumah jompo tentang cinta ini mungkin dapat mencairkan hati Anda yang mulai membeku. Pemeran utama kisah ini bukanlah Romeo dan Juliet, tapi George dan Pearl. Begini kisahnya...

“Real love stories never have endings” - Richard Bach

Hari itu adalah musim panas yang lembab dengan langit biru di bulan Juli dan saya memulai pekerjaan saya di sebuah rumah jompo. Setiap pagi George, seorang pria berusia 85 tahun sampai di lokasi dengan diantar bus khusus, tepat waktu untuk menikmati sarapan dengan Pearl, istrinya yang berusia 60 tahun. "Sweet Girl Pearl" (sebagaimana George yang penuh kasih sayang menggambarkan istrinya) bergabung dalam rumah jompo kami pada bulan April dan George saat itu sedang berusaha untuk menyesuaikan diri untuk hidup terpisah dengan belahan jiwanya. George harus menghadapi kenyataan bahwa Pearl mungkin tidak akan pernah dapat meninggalkan rumah jompo ini.

Pearl didiagnosa menderita penyakit Alzheimer dan semakin lama kondisinya semakin memburuk. Pada tahap lanjutan, Pearl telah lupa cara berjalan dan terpaksa menggunakan kursi roda untuk berkeliling rumah didorong oleh George yang terus tersenyum. "Hanya mengajak istri tercinta tour keliling rumah," begitu responnya saat seseorang bertanya tentang istrinya. Saya biasanya melihat mereka berdua di teras, bergandengan tangan di tempat yang teduh. Mereka berdua duduk terdiam tapi mereka memberikan senyum manis mereka pada siapapun yang lewat. Mereka selalu bergandengan tangan kecuali pada saat George mendorong kursi roda Pearl.

Memasuki bulan Juni, Pearl mulai tidak mengenali George, tetapi hal ini sepertinya tidak jadi masalah bagi George. Setiap pagi George secara rutin datang ke rumah jompo, menyalami istrinya dengan sebuah kecupan lembut di pipi, dan mendorong kursi roda istrinya ke aula untuk menikmati sarapan bersama. George memegang garpu untuk menyuapi istrinya dengan satu tangan, dan dia menggunakan tangan lainnya untuk merangkul istrinya. Mereka tidak pernah melepaskan genggaman tangannya, tersenyum dan terus duduk dalam kesunyian.

Beberapa hari kemudian di bulan Juli saat saya mendorong kursi roda pasien lain menuju kantin, saya merasakan sesuatu yang salah. Sesuatu terasa berbeda. George dan Pearl tidak ada di tempat mereka biasanya, sambil menikmati sarapan bersama. Saya memanggil suster lain untuk menggantikan saya karena saya ingin melihat keadaan Pearl di kamarnya.

Saat saya memasuki ruangan Pearl, saya menemukan mereka berdua. Pearl sedang menatap langit-langit dan George sambil menggenggam tangan istrinya, mengangkat kepala dan melihat kepada saya. George menyapa saya, dan saya menyadari bahwa George baru saja menangis dengan mendengar suara sengaunya. Saat saya menghampiri tempat tidur Pearl, saya menyadari bahwa dia tidak bernapas dan segera memanggil dokter dilanjutkan dengan memberikan napas buatan. Setelah dokter tiba, beliau mengkonfirmasikan sesuatu yang telah saya ketahui sebelumnya. Pearl telah meninggal.

George bercerita pada saya bahwa Pearl telah menunggu dirinya. Dia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangannya dan untuk pertama kalinya setelah sekian bulan, Pearl mengenali suami tercintanya dan bicara padanya "George, cinta kita tidak akan pernah mati. Saya mencintaimu George." Sambil menutup matanya dan pergi dengan damai.

George sangatlah luar biasa. Dia berada di sana setiap hari walaupun kondisi fisik istrinya memburuk dan tidak dapat membalas setiap kebaikan George. Hal itu sepertinya tidak menjadi masalah bagi George. Dia hadir di sana untuk istrinya dan itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia.

Sebelum George pergi, dia memberi saya sebuah pelukan yang hangat. Dia berterima kasih pada saya karena telah menolong istrinya, dan mendengar isakan saya sepertinya dia tahu bahwa saya juga kehilangan Pearl. Dia berkata pada saya jangan bersedih, dan segalanya baik-baik saja. Saya sangat malu saat dia menghibur saya dimana seharusnya sayalah yang harus menghibur dia.

Saya menunggu di depan bersama George. Bus yang biasa dinaikinya telah datang. Hal terakhir yang dia katakan sebelum dia meninggalkan rumah jompo kami untuk yang terakhir kalinya adalah "Pearl belum meninggalkan saya. Dia masih ada di sini. Dia akan selalu ada bersama saya. Cinta kami terlalu kuat untuk dapat mati." Saat saya melihat bus itu menjauh, George melambaikan tangannya di jendela. Sebagai balasannya saya memberikan sebuah senyum yang dibuat-buat untuk membalas semua sikap positifnya.

“Cinta tidak harus berarti mengucapkan kata-kata, tapi cukup dengan mengetahui kita dicintai. Cukup hadir di sisinya.”

Saya berharap masih banyak George-George lainnya di luar sana yang mengerti apa arti sesungguhnya dari cinta.

Walaupun Jay Leno pernah berkata bahwa hari Valentine adalah sebuah hari untuk memeras kaum pria, tetaplah cintai pasanganmu. Belajar seperti George yang dapat mencintai istrinya tanpa syarat dan tanpa pamrih. Selamat Hari Kasih Sayang...

Selasa, 08 Februari 2011

Lemah Lembut

Kalau kamu tidak berubah, tinggalkan rumah ini!” seru Joe sang ayah pada Tim, anaknya, yang terlibat pergaulan bebas. Tim langsung minggat. Menyewa indekos. Suatu malam Joe ditelepon seseorang. “Anakmu ada di penjara. Ia terlibat perdagangan narkoba!” Segera Sang Ayah mencarinya di penjara, tetapi anaknya tidak ada di situ. Ternyata berita telepon itu salah sambung. Maka, Joe berusaha mencari tempat kos Tim. Menjelang subuh baru ketemu. Anaknya itu sedang tidur. Ia masuk ke kamarnya, berlutut dan memeluknya, lalu berkata: “Tim, kamu baik-baik saja, kan? Ayah sayang padamu!” Ketika Tim melihat kelemahlembutan ayahnya, hatinya pun tersentuh. Ia pun pulang dan bertobat.

Kelemahlembutan kadang dipandang sebagai kelemahan. Orang lebih suka bersikap keras untuk menunjukkan kuasa dan wibawa, padahal justru kelemahlembutan lebih ampuh! Berusaha mendengar dan memahami kebutuhan orang lain. Belajar merendah dan melayani. Sikap itulah yang membuat seseorang disegani.

Apakah kita dikenal sebagai orang yang kasar atau lemah lembut? Suka memotong pembicaraan atau membiarkan orang lain berbicara? Pemarah atau mudah mengalah? Jika kita mau dihormati, terapkan kelemahlembutan dalam hidup kita.