Saya sekarang berusia 16 tahun. Satu hal yang perlu Anda ketahui adalah bahwa Ibu kami meninggalkan kami ayah dan anak-anaknya 6 tahun yang lalu. Saya mulai melarikan diri ketika ayah saya meninggalkan negeri supaya dia bisa bersama seorang perempuan yang berusia 21 - sedangkan dia berusia 42 tahun. Dia meninggalkan kami pada kakek dan nenek. Dia bilang dia tidak akan pergi lama, hanya sebulan atau dua bulan saja.
Saya begitu marah ketika saya harus kehilangan orang tua lagi yang membuat saya memulai membolos sekolah, dan kabur bersama sahabat saya yang juga mempunyai banyak masalah pada saat itu. Saya merasa begitu terbakar oleh kemarahan terhadap keluarga saya sehingga saya tidak berpikir bagaimana hal ini akan mempengaruhi adik-adik saya.
Ketika saya di jalanan, saya dan sahabat saya tinggal berpindah-pindah dari teman ke teman lainnya, dan suatu hari kami tidak memiliki tempat untuk didatangi. Jadi kami berkeliling sepanjang malam tanpa sepatu dan pakaian kering karena basah akibat hujan. Keesokan harinya kami harus menyerahkan diri ke kantor polisi karena kami sakit akibat basah dan kedinginan, padahal kami baru saja kabur selama satu minggu. Kemudian saya ditahan di pusat kenakalan remaja selama 2 hari sampai bibi saya datang dan mengeluarkan saya.
Dua minggu kemudian saya melarikan diri lagi dengan sahabat saya pada ulang tahun saya yang ke-16 dan esok harinya tertangkap kembali. Saya ditahan selama 3 hari dan ketika saya keluar mereka menjadikan saya sebagai tahanan rumah, dan saya masih menjalaninya sampai hari ini.
Apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah - kehidupan di luar sana sangatlah keras. Anda butuh uang dan tempat berteduh. Sungguh pengorbanan yang sangat mahal untuk melarikan diri dari keluarga. Walaupun Anda tidak bahagia dengan keluarga Anda, Anda tetap membutuhkan mereka, tidak peduli apakah Anda membenci ataupun mencintai mereka.
Disadur dari Runaway Lives : Personal Stories and Reflections by Runaways and Their Families.
Ada kalanya orang-orang di sekeliling kita terasa begitu menyebalkan, sehingga kita ingin melarikan diri dan menjauh dari mereka. Kadang saat bersama mereka yang muncul dalam perbincangan hanyalah perdebatan dan pertengkaran, sehingga lebih baik bagi kita untuk menjaga jarak dan membuat batas maya dengan mereka. Kita begitu jenuh dengan suasana seperti itu, bosan dengan nasihat dan petuah juga kadang kita merasa tersinggung dengan perkataan atau perbuatan mereka. Saat-saat seperti itu kita merasa solusi terbaik hanyalah melarikan diri, menjauh dari mereka sejauh-jauhnya, dan lepas dari segala kendali dan pengaruh mereka dalam kehidupan kita. Seakan-akan pelarian adalah satu-satunya jawaban untuk dapat memadamkan segala macam perasaan yang mengganggu di dalam hati kita.
Mungkin itu yang sedang Anda alami, seperti yang pernah saya alami dulu. Seringkali saya merasa menyendiri adalah pilihan terbaik dalam hidup ini. Semakin saya menjauh, semakin nyaman perasaan hati saya. Semakin lama saya tidak bersama mereka, semakin kecil kemungkinan hati dan perasaan saya terluka. Bahkan saya pernah sampai ke suatu titik dimana saya merasa tidak membutuhkan siapa-siapa, karena berhubungan dengan orang lain hanya berarti satu buat saya : rasa sakit.
Hidup terus berlangsung di dalam kesendirian, sampai saya sampai ke suatu titik dimana saya menyadari bahwa hidup ini penuh dengan rasa sakit, dan luka ini adalah proses bagi kita untuk menjadi lebih baik. "Pain is what keep me growing," sebuah frase yang sering kali digunakan oleh seorang teman saya. Memang tidak mungkin bagi kita untuk menyenangkan semua orang dan berdamai dengan semua orang karena hal itu adalah hal yang mustahil. Tapi hal itu bukanlah alasan bagi kita untuk menjauh dan menyendiri.
Adalah hak Anda untuk menjauh dari orang-orang yang menyebalkan. Saya pun memilih demikian, menjauh dari orang-orang yang membuat saya terluka dan sakit hati, menghapus mereka dari lembar kehidupan saya. Tapi lain halnya dengan keluarga kita. Bagaimanapun luka yang mereka timbulkan, tetap mereka adalah keluarga kita. "Darah lebih kental daripada air," ikatan batin antar anggota keluarga sangat erat, bahkan untuk diputuskan oleh rasa sakit hati sekalipun. Kita butuh keluarga, kita butuh mereka. Sebuah tempat yang disebut "rumah" dimana saat kita masuk ke dalamnya kita merasa aman dan nyaman setelah seharian menghadapi dunia yang kejam di luar sana. Sebuah tempat yang bisa memberikan rasa hangat saat hati ini mulai dingin melihat dunia yang egois. Sebuah tempat yang mampu meneduhkan hati saat perasaan ini sedang marah akibat perbuatan-perbuatan jahat orang-orang di luar sana. Sebuah tempat peristirahatan, tempat untuk menanggalkan beban-beban di hati dan tidur dengan nyenyak.
Begitulah akhirnya saya membutuhkan keluarga saya. Saat saya belum menikah, saya butuh kedua orang tua dan saudara-saudara saya. Nanti setelah menikah saya pun tetap membutuhkan mereka, bahkan saya memiliki pasangan untuk berbagi segala beban, juga orang tua (baca : mertua) dan saudara (baca : ipar) baru, dan nantinya anak-anak sebagai tempat curahan kasih. Saat seluruh dunia berpaling menentang Anda, keluarga lah yang akan menjadi tempat Anda bernaung. Percaya atau tidak, kita butuh keluarga kita, sebagaimana mereka membutuhkan kita...
You don't choose your family. They are God's gift to you, as you are to them.
- Desmond Tutu -